SUBANG, TINTAHIJAU.COM- Di jantung Kota Subang, berdiri sebuah ruang kuliner yang telah menjadi saksi bisu geliat ekonomi rakyat, pertemuan sosial, dan romantisme lokal: Pasar Pujasera Subang.
Tempat ini bukan hanya deretan lapak makanan. Ia adalah bagian dari kenangan kolektif masyarakat Subang. Tempat banyak orang tumbuh, jatuh cinta, mencari nafkah, bahkan membangun cita-cita.
Lapak-lapak kuliner dipadati pengunjung, aroma bakso dan sate menggoda dari kejauhan, tawa anak-anak terdengar dari sudut area bermain, dan gemerlap lampu malam memantul dari meja-meja sederhana.
Namun semua itu hadir bersamaan dengan rasa waswas. Sebab di atas tanah yang sama, telah direncanakan berdiri Pesona Mall Subang, pusat perbelanjaan modern dengan hotel berbintang.
Pujasera Subang mulai dikenal sejak awal 2000-an, dibangun sebagai upaya penataan pedagang kaki lima dan pusat jajan yang terorganisir. Pemerintah kala itu ingin menciptakan ruang yang bersih, tertib, dan terjangkau. Lokasinya yang strategis, dekat dengan kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat kota, membuatnya tumbuh cepat.
Lapak-lapak yang awalnya hanya beralaskan tikar kini menjadi kios semi permanen. Generasi demi generasi tumbuh bersama Pujasera. Banyak warga Subang masih ingat bagaimana mereka menyantap semangkuk bakso sepulang sekolah, bertemu gebetan di bangku kayu dekat penjual jagung bakar, atau berbuka puasa di warung nasi goreng langganan keluarga.
Pujasera menjadi ruang sosial terbuka, tempat berbagai kalangan bisa bertemu: pejabat dan buruh, pelajar dan pensiunan, seniman dan santri. Tak ada sekat, tak ada batas.
Tak hanya rakyat biasa, Pujasera juga pernah menjadi panggung istimewa bagi tokoh nasional. Pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo berkunjung langsung ke Pasar Pujasera Subang.

Dalam kunjungan tersebut, Jokowi membagikan bantuan langsung kepada pedagang kaki lima (PKL) yang berada di area Pujasera. Momen ini viral di media sosial, terutama saat Presiden bermain lato-lato bersama anak-anak, menunjukkan keakraban khas yang menjadi ciri kepemimpinannya.
Dua tahun sebelumnya, pada 29 Februari 2020, musisi Anji menggelar panggung dadakan di tengah Pujasera. Aksi tersebut merupakan bagian dari program “Panggung Dadakan” yang terekam dalam kanal digitalnya.
Dalam video, terlihat suasana kehebohan warga yang antusias menyaksikan Anji menyanyi secara langsung, di tengah warung dan keramaian, dengan wajah-wajah bahagia tersenyum ke kamera.
Dua peristiwa ini menjadi bukti bahwa Pujasera adalah ruang publik yang hidup dan punya magnet tersendiri, bahkan bagi presiden dan artis ibu kota.
Pasca pandemi, Pujasera sempat lesu. Banyak pedagang gulung tikar, dan pengunjung menurun drastis. Namun memasuki 2024 hingga pertengahan 2025, geliat baru mulai terasa. UMKM bangkit. Masyarakat kembali turun ke jalan-jalan kota, dan Pujasera kembali menjadi magnet.
“Sekarang mah rame terus. Lebih hidup lah ketimbang waktu covid dulu, kata Dini (34), warga Subang, mengenang masa kecilnya yang juga diwarnai jajanan khas Pujasera.
Menurut pengamatan di lapangan, saat ini terdapat puluhan pelaku usaha aktif yang menggantungkan hidup di kawasan ini. Mayoritas adalah pedagang kuliner tradisional yang tidak punya akses ke sewa ruko besar atau platform online. Pujasera adalah satu-satunya ruang jualan mereka.
“Alhamdulillah, omzet naik lagi sekarang. Tapi kami juga khawatir… soalnya katanya mau dibangun mall,” ucap Pak Yana (51), seorang pedagang yang sudah lebih dari 15 tahun berjualan di sana.
Rencana pembangunan Pesona Mall Subang pertama kali dipublikasikan pada 2024. Pemerintah menyatakan bahwa kawasan Pujasera akan disulap menjadi pusat perbelanjaan modern seluas 78.215 meter persegi, terdiri dari lima lantai pusat belanja, convention centre, area parkir luas, dan hotel berbintang tujuh lantai.
Mall ini digadang-gadang sebagai wajah baru Subang: modern, kompetitif, dan jadi daya tarik ekonomi regional. Namun yang jadi pertanyaan: atas nama kemajuan, siapa yang dikorbankan?
Pada 2024, Pemkab Subang bahkan membentuk Tim Koordinasi Relokasi Pedagang Pasar Pujasera. Namun, protes dari publik datang silih berganti. Warga merasa tak dilibatkan dalam perencanaan. Pedagang takut kehilangan ruang usaha. Aktivis budaya khawatir kehilangan ruang sosial yang otentik.
Hingga akhirnya, pada 13 Juni 2025, Pemkab Subang mencabut Surat Keputusan Bupati terkait relokasi pedagang dan membubarkan tim relokasi. Sekda Subang Asep Nurani menyatakan ada tiga alasan pencabutan tersebut, salah satunya karena mempertimbangkan dinamika sosial dan penolakan publik.
Kini, rencana pembangunan mall seakan menggantung. Progres fisik belum terlihat. Nasib Pujasera pun belum pasti.
Rino (30), pengunjung tetap Pujasera dari Pagaden, menegaskan bahwa pembangunan mall tak harus mengorbankan identitas lokal.
“Kalau mau bangun mall ya silakan. Tapi jangan sampai Pujasera hilang. Kenapa nggak digabung aja? Ada zona UMKM-nya, ada ruang rakyatnya. Jangan semua diseragamkan.”
Pakar tata kota dan ekonomi lokal juga banyak yang menekankan pentingnya urban inclusivity, yaitu pembangunan yang menyertakan semua kalangan, bukan hanya menara kaca dan merek besar.
Pujasera hari ini mungkin tak sempurna. Masih ada masalah kebersihan, penerangan, dan pengelolaan parkir. Tapi nilai yang ia miliki jauh lebih dari sekadar lokasi: ia adalah ruang hidup warga. Modernisasi kota harus dijalankan dengan akal sehat dan empati sosial.
Kalau mall modern nanti berdiri, bisakah Pujasera tetap hidup di dalamnya?
Karena membangun kota bukan hanya soal gedung tinggi dan aspal mulus, tapi juga soal menjaga kenangan, melestarikan identitas, dan memberikan ruang untuk semua.






