Ragam  

Saung Eurih Majalengka, Dari Kepedihan Lingkungan Tumbuh Jadi Ruang Ekspresi dan Ekologi

Saung Eurih Majalengka (Foto: Erick Disy Darmawan/detikJabar).

MAJALENGKA, TINTAHIJAU.com — Di balik rerimbunan pepohonan Kelurahan Cicurug, Majalengka, berdiri deretan saung bambu yang sederhana namun sarat makna. Namanya Saung Eurih. Banyak orang mengenalnya sebagai rumah makan, namun lebih dari itu, Saung Eurih adalah ruang hidup: tempat bertemunya ide, semangat, dan kepedulian dalam satu ekosistem yang tumbuh dari akar masyarakat.

Didirikan pada 2007 oleh sejumlah tokoh lokal seperti Eman Kardiman dan Ketut Aminuddin, Saung Eurih bukan sekadar bangunan fisik. Ia lahir dari keresahan atas kerusakan lingkungan dan minimnya ruang berekspresi. “Saung Eurih itu berangkat dari kebersamaan. Dari teman-teman komunitas yang berangkat dari kapeurih, kepedihan melihat kondisi lingkungan yang kurang baik,” kenang Ketut, yang kini menjadi pengelola kebudayaan Saung Eurih.

Gerakan Sosial yang Menyatu dengan Alam

Gerakan yang semula bersifat sosial ini berkembang menjadi komunitas pencinta lingkungan. Mereka aktif mengelola sampah, menanam secara hidroponik, hingga menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Ekosistem pun mulai terbentuk—mengakar kuat di tanah Majalengka.

Ketika suasana sejuk dan ramah Saung Eurih mulai menarik pengunjung, ide membuka usaha kuliner pun hadir. Sejak 2011, rumah makan ini resmi beroperasi dengan sajian khas seperti nasi liwet dan pencok katel. Namun, semangat awal komunitas tetap terjaga.

“Alhamdulillah tempat kami sempat booming, dan dijadikan tempat kuliner. Namun ruh komunitasnya tetap tidak berubah,” ujar Ketut.

Literasi, Seni, dan Budaya Berkelindan

Di luar dapur, Saung Eurih terus menyala lewat diskusi budaya, pertunjukan seni, hingga forum literasi. Salah satunya adalah Forum Baca Saja Bersama, ruang berkumpul para pemuda yang membaca dan mendiskusikan berbagai isu, dari feminisme hingga pertanian.

Permana Fajar Proklamasi, salah satu penggeraknya, mengungkapkan bahwa membaca di Saung Eurih tidak sebatas teks, tetapi juga gerak alam. Bahkan para turis dari luar negeri pun tertarik ikut diskusi. “Ada turis dari Belanda bawa bacaan soal keramik, dari Jepang soal beras. Semua jadi bahan tukar pikiran,” kata Fajar.

Kembali ke Tanah, Kembali ke Akar

Tak berhenti di literasi, Saung Eurih juga menghidupkan kembali semangat bertani lewat Gen Z Permak Cultur. Komunitas ini mendorong anak muda agar tak melupakan potensi lahan di kampung halaman.

Dengan konsep pertanian terpadu, Saung Eurih menciptakan siklus berkelanjutan. Sampah dapur jadi pakan dan pupuk, limbah ternak jadi kompos, dan hasil panen kembali ke dapur rumah makan.

“Prinsip kami: dari runtah jadi ngeunah,” ucap Fajar. Kolam ikan, kandang ternak, dan kebun menjadi bagian dari ekosistem yang saling menyambung. Tak hanya menghasilkan bahan makanan segar, tapi juga memberi ruang belajar bagi siapa pun yang ingin mengenal pertanian dan ekologi lebih dalam.

Saung yang Hidup karena Cinta

Di tengah dunia yang kian terfragmentasi, Saung Eurih hadir sebagai oase: tempat makan yang tak hanya menyajikan hidangan, tetapi juga gagasan, empati, dan harapan. Dari saung-saung bambu sederhana, suara-suara warga Majalengka menggema: tentang perubahan, tentang alam, dan tentang masa depan yang dirawat bersama.

Saung Eurih adalah bukti bahwa ruang komunitas tak harus besar atau megah—cukup tumbuh dari cinta yang jujur dan kepedulian yang tak lekang waktu.