SUBANG, TINTAHIJAU.COM – Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 kembali membuka mata publik terhadap realita ketimpangan akses pendidikan di Kabupaten Subang. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 12 kecamatan di Subang yang belum memiliki satu pun Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN).
Hal ini menimbulkan berbagai dampak sosial dan pendidikan, terutama bagi siswa lulusan SMP/MTs yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA.
Fakta ini tercantum dalam Keputusan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dengan Nomor: 3103/TU.01.02/CADISDIK WIL.IV, yang menetapkan sekolah-sekolah menengah atas sebagai sekolah penyangga bagi kecamatan yang tidak memiliki SMA Negeri.
Berikut daftar kecamatan tanpa SMA Negeri di Subang beserta sekolah penyangganya:
- Cikaum → SMAN Purwadadi
- Cibogo → SMAN 4 Subang
- Pusakajaya → SMAN 1 Pusakanagara
- Ciater → SMAN Jalancagak & SMAN 1 Cisalak
- Kasomalang → SMAN 1 Cisalak
- Sagalaherang → SMAN 1 Serangpanjang
- Cipunagara → SMAN 1 Pagaden
- Dawuan → SMAN 2 Subang
- Tambakdahan → SMAN Binong
- Pagaden Barat → SMAN 2 Pagaden
- Cijambe → SMAN 3 Subang
- Sukasari & Legonkulon → SMAN 1 Pamanukan
Keberadaan sekolah penyangga memang menjadi solusi sementara bagi kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Namun, sistem ini tidak serta merta menyelesaikan masalah. Kuota yang tersedia untuk siswa dari kecamatan “yang ditumpangi” sangat terbatas.
Praktisi pendidikan Subang, Iwan Masna, menilai sistem ini hanya memberikan ruang sangat kecil bagi siswa untuk bisa masuk ke SMA Negeri melalui jalur zonasi khusus.
“Siswa yang tidak bisa masuk di jalur domisili reguler, bisa terfasilitasi masuk ke SMAN penyangga meski jumlahnya terbatas. Karena jumlah kuotanya sangat terbatas, hanya 3 siswa per rombel (rombongan belajar). Dengan jumlah maksimal 12 rombel, artinya maksimal hanya 48 siswa yang bisa diakomodir melalui jalur zonasi khusus,” jelasnya.
Dengan kata lain, dari ratusan lulusan SMP/MTs di tiap kecamatan tanpa SMA Negeri, hanya puluhan siswa yang bisa tertampung melalui jalur ini. Sisanya harus mencari alternatif lain, dan mayoritas dari mereka akhirnya masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), meskipun belum tentu sesuai minat dan rencana karier mereka.
“Mayoritas mereka ke sekolah lain, umumnya SMK, padahal SMA dan SMK itu output-nya beda. Di sini saya melihat pemerintah cenderung merampas hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Jangan dulu bicara kualitas, pilihan pun dipaksa harus ke SMK. Padahal minat siswa pada umumnya ke SMA. Hal ini bisa dibuktikan dalam pelaksanaan PPDB, di mana rebutan kursi sering kali terjadi di SMAN, tidak di SMK,” tegas Iwan.
Iwan menilai, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah daerah bersama Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat harus segera menyusun langkah strategis dengan mendirikan SMA Negeri baru di kecamatan-kecamatan yang belum memilikinya.
“Pendirian SMA Negeri di wilayah yang belum memiliki akan jadi solusi jangka panjang. Ini bukan hanya tentang jumlah bangunan, tapi juga soal keadilan pendidikan. Jangan sampai anak-anak dari kampung terpinggirkan hanya karena tidak punya sekolah negeri di daerahnya,” ujar Iwan.
Ke depan, Iwan juga berharap ada keberpihakan kebijakan dalam penyusunan zonasi PPDB dan penambahan rombel (rombongan belajar) di sekolah penyangga agar lebih banyak siswa dari kecamatan “non-SMAN” bisa terakomodasi dengan layak.
Ketimpangan akses pendidikan di Subang masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pemerataan pembangunan sekolah negeri adalah langkah konkret agar anak-anak bangsa bisa memperoleh haknya atas pendidikan yang setara, tanpa harus terhalang jarak, zonasi, atau kuota sempit.