JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Sindrom patah hati atau kardiomiopati takotsubo merupakan kondisi serius pada jantung yang kerap muncul setelah seseorang mengalami tekanan emosional atau fisik berat, seperti kehilangan orang tercinta. Kondisi ini membuat otot jantung berubah bentuk dan tiba-tiba melemah, dengan gejala yang menyerupai serangan jantung.
Laporan The Guardian pada 30 Agustus 2025 menyebutkan, pasien dengan sindrom ini menghadapi risiko kematian dini dua kali lipat dibanding populasi umum. “Sindrom takotsubo dapat menjadi kondisi menghancurkan yang memengaruhi seseorang di saat paling rentan, terutama setelah peristiwa besar dalam hidup,” ujar Dr. Sonya Babu-Narayan, Direktur Klinis di British Heart Foundation.
Meski belum ada obatnya, penelitian terbaru yang dipresentasikan pada kongres tahunan European Society of Cardiology di Madrid menawarkan harapan baru. Uji coba terkontrol acak pertama yang melibatkan 76 pasien takotsubo menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) maupun program pemulihan jantung berbasis olahraga terbukti membantu pemulihan pasien.
Dalam studi ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok: menjalani CBT, mengikuti program olahraga, atau menerima perawatan standar. Kelompok CBT mengikuti 12 sesi terapi mingguan dengan dukungan tambahan harian, sedangkan kelompok olahraga selama 12 minggu melakukan latihan bersepeda, treadmill, aerobik, hingga berenang dengan intensitas bertahap.
Hasil penelitian menunjukkan, pasien yang mengikuti CBT maupun program olahraga mengalami peningkatan signifikan dalam kemampuan jantung menghasilkan energi. Kemampuan berjalan enam menit meningkat dari rata-rata 402 meter menjadi 458 meter pada kelompok CBT. Sementara itu, pasien kelompok olahraga mampu menempuh 528 meter, naik dari 457 meter pada awal uji coba.
Selain itu, konsumsi oksigen maksimum (VO2 max) meningkat 15 persen pada kelompok CBT dan 18 persen pada kelompok olahraga. “Pasien takotsubo mungkin mengalami dampak jangka panjang yang mirip dengan penyintas serangan jantung. Karena itu, perawatan tambahan seperti CBT dan olahraga bisa sangat bermanfaat,” kata Dr. David Gamble, dosen klinis kardiologi dari University of Aberdeen.
Penelitian ini juga mencatat bahwa mayoritas pasien adalah perempuan (91 persen) dengan rata-rata usia 66 tahun, menegaskan kecenderungan sindrom patah hati lebih banyak dialami kaum wanita.
Temuan ini membuka jalan baru bagi pendekatan penanganan takotsubo, yang selama ini hanya mengandalkan pengobatan standar tanpa terapi khusus. Para ahli berharap kombinasi terapi psikologis dan latihan fisik bisa diadopsi lebih luas untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.