JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Science & Technology mengungkapkan sebuah temuan yang mengejutkan: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak yang tanpa sadar mengonsumsi mikroplastik.
Mikroplastik sendiri merupakan partikel kecil yang berasal dari berbagai sumber, seperti kemasan makanan, ban mobil, pakaian sintetis yang rusak, hingga produk kecantikan seperti pembersih wajah.
Partikel-partikel plastik kecil ini sangat berbahaya karena dapat merusak lingkungan, mengancam ekosistem, bahkan membahayakan kesehatan manusia. Ukurannya yang sangat kecil dan tak kasat mata membuat keberadaannya sering diabaikan, padahal dampaknya sudah sangat nyata.
Mikroplastik tidak hanya mencekik satwa liar tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem perairan, salah satu area yang paling rentan terhadap pencemaran mikroplastik.
Sebuah tim peneliti dari Universitas Wuhan, China, baru-baru ini menemukan sebuah solusi inovatif untuk mengatasi polusi mikroplastik. Mereka berhasil menciptakan spons biodegradable yang terbuat dari tulang cumi-cumi dan kapas. Menggunakan bahan organik ini, para ilmuwan berhasil mengembangkan spons yang dapat menyerap mikroplastik dengan efisiensi tinggi.
Peneliti menguji spons tersebut pada empat sampel air yang berbeda—air irigasi, air kolam, air danau, dan air laut—dan menemukan bahwa spons ini dapat menghilangkan mikroplastik hingga 99,9%. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam Science Advances bulan lalu.
Mikroplastik adalah pecahan plastik dengan ukuran kurang dari 5 milimeter yang berasal dari berbagai sumber, seperti ban kendaraan yang tergerus, serta butiran mikroplastik dalam produk kecantikan.
Mikroplastik kini diakui sebagai salah satu tantangan lingkungan utama yang semakin memperburuk kondisi bumi. Bahkan dengan berbagai kebijakan pengurangan plastik, pengelolaan limbah, dan upaya daur ulang, polusi mikroplastik tetap meningkat dan semakin sulit untuk diatasi.
Spons yang dikembangkan di Wuhan mampu menyerap mikroplastik melalui dua cara, yaitu dengan cara mencegat secara fisik atau menggunakan daya tarik elektromagnetik. Keunggulannya terletak pada biaya produksi yang rendah dan kemudahan pembuatan bahan bakunya, seperti kapas dan tulang cumi-cumi yang melimpah, sehingga dapat digunakan dalam skala besar untuk membersihkan badan air yang tercemar mikroplastik.
Namun, meski bahan spons biodegradable ini menjanjikan, ada tantangan lain yang perlu diatasi, yaitu pembuangan mikroplastik yang sudah terperangkap dalam spons. Menurut Shima Ziajahromi, seorang dosen di Universitas Griffith, Australia, yang mempelajari mikroplastik, meskipun spons ini dapat terurai, mikroplastik yang diserapnya harus dibuang dengan benar. Jika tidak, mikroplastik yang terkumpul justru bisa berpindah ke ekosistem lain, memperburuk polusi di tempat lain.
Meskipun teknologi spons ini memberikan harapan baru, pengelolaan mikroplastik secara keseluruhan tetap memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan pengawasan yang cermat agar tidak memperburuk masalah yang sudah ada. Polusi mikroplastik adalah ancaman yang harus segera diatasi untuk melindungi ekosistem perairan dan kesehatan manusia.





