Obrolan ChatGPT Bisa Jadi Bukti di Pengadilan, CEO OpenAI Serukan Perlindungan Privasi

JAKARTA, TINTAHIJAU.com CEO OpenAI, Sam Altman, mengungkapkan bahwa percakapan pengguna dengan ChatGPT berpotensi digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum di pengadilan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru terkait privasi digital, khususnya bagi pengguna yang sering membagikan informasi pribadi dan sensitif kepada chatbot berbasis kecerdasan buatan tersebut.

Altman menyampaikan bahwa banyak pengguna, terutama dari kalangan muda, memperlakukan ChatGPT layaknya seorang terapis atau konselor untuk berdiskusi mengenai hubungan, kesehatan mental, hingga persoalan pribadi lainnya. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya perlindungan hukum atas percakapan tersebut, sebagaimana berlaku dalam hubungan dokter-pasien atau pengacara-klien.

“Orang-orang menggunakan ChatGPT untuk bertanya tentang masalah pribadi dan emosional. Dalam konteks ini, seharusnya ada hak istimewa hukum sebagaimana dalam percakapan dengan terapis atau pengacara,” ujar Altman dalam sebuah wawancara podcast yang dikutip dari Tech Crunch, Jumat (25/7).

Saat ini, pengadilan di Amerika Serikat dapat memerintahkan OpenAI untuk menyerahkan data percakapan pengguna, dan perusahaan harus mematuhi perintah tersebut. Hal ini, menurut Altman, dapat menimbulkan risiko serius terhadap privasi pengguna.

“Saya pikir ini sangat kacau. Harus ada perlindungan yang setara dengan percakapan dengan profesional kesehatan atau hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, Altman mengingatkan bahwa kurangnya kejelasan hukum terkait perlindungan percakapan dengan AI bisa menjadi hambatan besar bagi adopsi teknologi ini secara luas. Ia juga menyoroti kasus hukum yang sedang berlangsung antara OpenAI dan The New York Times, di mana pengadilan meminta OpenAI menyimpan data percakapan ratusan juta pengguna ChatGPT—kecuali pelanggan ChatGPT Enterprise.

OpenAI telah mengajukan banding terhadap perintah tersebut, menyebutnya sebagai tindakan yang “melampaui batas.” Mereka memperingatkan bahwa keputusan ini bisa menjadi preseden berbahaya yang membuka peluang bagi penyalahgunaan data pengguna untuk kepentingan hukum atau penegakan hukum.

Dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya permintaan dari lembaga hukum terhadap data digital juga menimbulkan kekhawatiran, apalagi sejak Mahkamah Agung AS membatalkan keputusan Roe v. Wade, yang menyebabkan pengguna mulai mencari aplikasi kesehatan dengan perlindungan privasi lebih kuat.

“Sebelum orang menggunakan ChatGPT secara rutin, sangat wajar jika mereka menginginkan kejelasan soal privasi—terutama dari sisi hukum,” pungkas Altman.

Pernyataan ini menambah daftar panjang perdebatan soal etika dan hukum dalam penggunaan kecerdasan buatan, terutama terkait hak atas privasi dan perlindungan data pribadi di era digital.