OPINI: Jaga Warisan Budaya Subang Lewat Perlindungan HAKI

Kabupaten Subang, sebuah wilayah agraris yang tengah bertransformasi menjadi simpul ekonomi strategis di Jawa Barat, kini menjadi magnet investasi asing. Terobosan pembangunan infrastruktur besar seperti Pelabuhan Patimban, akses Tol Cipali, hingga integrasi dalam kawasan Rebana Metropolitan telah menjadikan Subang sebagai titik pertumbuhan ekonomi baru.

Namun, di tengah euforia pembangunan fisik dan masuknya modal global, ada satu entitas yang terancam tak kasatmata yaitu identitas budaya lokal. Identitas Budaya lokal masyarakat Subang begitu banyak diantaranya yaitu seni pertunjukan seperti Sisingaan, Gembyung, Makanan dan Minuman khas seperti Dodol Nanas, dan Kopi Khas Bukanagara juga ada Upacara Adat seperti Ruwatan Bumi, Nadran yang kini terpinggirkan oleh logika ekonomi modern yang tak mengenal hak kolektif budaya.

Ironisnya, budaya yang menjadi akar jati diri masyarakat justru belum sepenuhnya dilindungi melalui sistem hukum kekayaan intelektual nasional.

Identitas Budaya Lokal merupakan pengetahuan tradisional yang dihasilkan melalui proses akumulasi panjang relasi manusia dan alam, yang diwariskan secara turun-temurun dan kolektif. Namun karakteristiknya yang tidak terdokumentasi formal, tidak berorientasi komersial, dan bersifat komunal membuatnya rentan untuk diklaim, dikomersialkan, dan bahkan dipatenkan secara sepihak oleh pihak asing atau pelaku industri tanpa keterlibatan asal dari budaya lokal tersebut.

Contoh konkret dari kasus ini bisa kita temukan dari adanya klaim alat musik khas jawa barat yaitu Angklung dan Masakan khas Sumatera Barat yaitu rendang yang diakui oleh negara lain yang walaupun sudah jelas bahwa angklung berasal dari tanah pasundan dan masakan rendang sudah khas masakan khas tanah minangkabau. Sehingga tanpa perlindungan hukum yang memadai, budaya lokal dengan mudah menjadi objek eksploitasi.

Sejauh ini, Indonesia telah menunjukkan niat baik dalam mengakui pentingnya pengetahuan tradisional melalui beberapa instrumen hukum, antara lain:

  • Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Pasal 38, yang menyatakan bahwa ekspresi budaya tradisional (EBT) dilindungi sebagai hak cipta oleh negara, dengan tetap menghormati nilai-nilai adat dan komunitas asalnya.
  • Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang membuka peluang perlindungan terhadap produk budaya lokal yang memiliki ciri khas geografis dan nilai ekonomi.
  • Pasal 28C dan Pasal 32 UUD 1945, yang memberi pengakuan terhadap hak masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya sebagai bagian dari hak asasi manusia dan pembangunan nasional.

Namun, perlindungan yang diberikan bersifat parsial, sektoral, dan belum memiliki kerangka pelaksanaan yang kuat. Hingga saat ini belum ada sistem sui generis (sistem perlindungan hukum khusus) yang benar-benar responsif terhadap karakteristik pengetahuan tradisional.

Hal ini karena masih sering adanya kekeliruan besar dalam paradigma pembangunan yang menganggap bahwa budaya dan hukum adat menghambat investasi. Justru sebaliknya: jika pengetahuan tradisional dilindungi melalui sistem HAKI, maka budaya dapat bertransformasi menjadi sumber ekonomi legal yang sah dan berkelanjutan.

Misalnya, Sisingaan sebagai ekspresi budaya Subang, jika dilindungi melalui mekanisme HAKI, maka setiap penggunaan atau pementasannya oleh pihak ketiga untuk kepentingan komersial (misalnya untuk pariwisata, promosi industri, atau acara internasional) harus melalui proses perizinan resmi yang berimplikasi pada royalti, bagi hasil, atau bahkan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Begitu pula produk seperti Dodol Nanas dan Kopi khas Bukanagara, jika dilindungi sebagai indikasi geografis, maka merek atau labelnya tidak bisa digunakan oleh pihak luar tanpa melalui proses yang transparan dan adil. Ini menjadi instrumen untuk melindungi kualitas produk, membangun citra daerah, sekaligus menumbuhkan industri kreatif lokal berbasis identitas budaya.

Model ini telah berhasil diterapkan di beberapa daerah lain, seperti:

  • Tenun Ikat Sikka di NTT, yang kini menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi setelah mendapat perlindungan IG.
  • Kopi Gayo dari Aceh, yang pengaturannya dalam bentuk koperasi dan perlindungan HAKI membawa dampak langsung terhadap kesejahteraan petani lokal.

Kabupaten Subang dengan kekayaan budaya dan alamnya memiliki potensi besar untuk mengikuti jejak tersebut. Upaya ini bisa terwujud salah satunya melalui cara formal oleh Pemerintah daerah dengan menyusun strategi perlindungan budaya lokal yang diintegrasikan ke dalam kebijakan investasi dan pembangunan ekonomi.

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

  • Pembentukan Perda tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Budaya Daerah, yang mengatur pendaftaran, pelindungan, dan komersialisasi budaya lokal.
  • Inventarisasi dan dokumentasi pengetahuan tradisional Masyarakat Subang secara partisipatif bersama akademisi, komunitas budaya, dan DJKI.
  • Mewajibkan investor asing untuk menerapkan prinsip tanggung jawab sosial budaya (Cultural Corporate Social Responsibility), misalnya dengan mendukung pelestarian budaya lokal, bekerja sama dengan komunitas adat, atau menggunakan elemen budaya dengan perjanjian lisensi.

Dengan langkah-langkah ini, budaya lokal tidak hanya terlindungi, tetapi juga memiliki posisi tawar dalam peta pembangunan daerah. Ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa pembangunan ekonomi harus berdasarkan asas kekeluargaan dan bertujuan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sehingga masyarakat adat dan budaya lokal tidak menjadi korban diam dari pembangunan modern yang menghilangkan jati diri masyarakat adat. Padahal, jika kita mengadopsi paradigma hukum yang lebih adil dan inklusif, budaya adalah modal, bukan beban. Ia adalah sumber kekuatan ekonomi, simbol identitas, sekaligus instrumen diplomasi budaya dalam arus global.

Sudah saatnya kita memandang pengetahuan tradisional bukan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan karena nostalgia, tetapi karena ia layak untuk dihargai secara hukum dan ekonomi.

Ketika budaya dilindungi dan diberdayakan, maka pembangunan tidak hanya akan meninggalkan gedung dan jalan tol, dan rutinitas sebagai karywan di sektor Industri saja tetapi juga memelihara jiwa dan akar dari masyarakat yang membangunnya, yaitu Masyarakat Subang.

Fakhri Rizki Zaenudin, penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Univeristas Al-Azhar Indonesia