OPINI: Haji Pasca Kemerdekaan

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup oleh setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Sejarah perjalanan haji masyarakat Indonesia mengandung dinamika sosial, politik, dan keagamaan yang mendalam, apalagi setelah kemerdekaan.

Masa pasca kemerdekaan menjadi periode konsolidasi penting dalam pengelolaan ibadah haji, di mana pemerintah mulai mengambil peran aktif dalam memfasilitasi umat Islam Indonesia menuju Tanah Suci—menggantikan era ketika haji sangat dibatasi dan terorganisir secara informal.

  1. Latar Belakang Kesulitan Sebelum dan Awal Pasca Kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, perjalanan haji diatur secara ketat oleh pemerintah kolonial Belanda dengan berbagai regulasi yang membatasi mobilitas umat Islam—misalnya kewajiban izin, pajak tinggi, dan pembatasan kuota—yang menjadikan haji sulit dijangkau (Haji Zaman Dulu: Perjuangan Jemaah Indonesia Menuju Tanah Suci – Ahmad Zaini). Pada era pendudukan Jepang dan masa revolusi, transportasi massal tidak tersedia dan keamanan tidak menjamin; beberapa ulama seperti K.H. Hasyim Asy’ari bahkan mengeluarkan fatwa bahwa haji tidak wajib karena jihad melawan penjajah lebih mendesak (Sejarah Perjalanan Haji dari Kapal Layar hingga Regulasi Modern – Budi Santoso).

  1. Misi Haji I (1948): Simbol Diplomasi dan Semangat Nasionalisme

Tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mengirim rombongan Misi Haji I pada tahun 1948 sebagai perjalanan haji pertama yang dikelola oleh republik merdeka (Kisah Perjalanan Haji Pertama Setelah Merdeka – Rahmat Hidayat). KH R. Mohammad Adnan ditunjuk sebagai ketua misi ini, dan perjalanan dimulai pada 26 September 1948 dari Yogyakarta via Bangkok, Kalkuta, Karachi, Cairo hingga Makkah (Naik Haji Pakai Kapal Layar Selama 2 Tahun – M. Fadli). Selain tujuan spiritual, misi ini juga bertujuan melakukan diplomasi informal dengan Raja Ibn Saud dan pemimpin negara Muslim lain untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan RI (Sejarah Haji Indonesia dan Peran Diplomasi – Anwar Ibrahim).

  1. Konsolidasi Formal Pasca Pengakuan Kedaulatan (1950–1950an)
    Setelah pengakuan kedaulatan internasional Indonesia sekitar akhir 1949, perbaikan sistemik perjalanan haji mulai difokuskan (Haji Indonesia dari Masa ke Masa – Syaiful Anwar). Pada tahun 1950, Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) dibentuk oleh Kementerian Agama dengan kepengurusan lintas organisasi Islam untuk membantu penyelenggaraan haji, termasuk menerbitkan majalah edukasi seperti PEHAI dan Kiblat, serta menerapkan sistem kuota resmi dan prioritas pegawai negeri (Sejarah Perjalanan Haji dari Kapal Layar hingga Regulasi Modern – Budi Santoso).
  2. Era Kapal Laut ke Pesawat (1960–1980an): Transformasi Transportasi

Pada era Orde Lama dan awal Orde Baru, pengiriman jamaah haji masih didominasi kapal laut yang memakan waktu panjang dan penuh risiko (Mengelola Jamaah Haji dari Masa ke Masa – Irfan Hakim). Di masa Orde Lama, sektor swasta seperti Yayasan PHI dan Bank Haji Indonesia bertindak sebagai penyelenggara utama, bekerja sama dengan perusahaan pelayaran seperti MUSI; meskipun begitu, pada 1962 MUSI dibubarkan karena tidak memiliki kapal sendiri (Sejarah Pelayaran Haji Indonesia – Zulkifli Arif).

Memasuki era Orde Baru (1970-an), negara mengambil alih sepenuhnya urusan haji melalui Kementerian Agama; swasta hanya membantu sebagian kecil dan tak bertanggung jawab atas penyelenggaraan utama (Mengelola Jamaah Haji dari Masa ke Masa – Irfan Hakim). Transformasi besar terjadi pada 1980-an ketika transportasi bergeser ke penggunaan pesawat terbang, membuat perjalanan haji menjadi lebih cepat, aman, dan nyaman (Haji Zaman Dulu: Perjuangan Jemaah Indonesia Menuju Tanah Suci – Ahmad Zaini).

  1. Modernisasi dan Regulasi Mutakhir

Masuk ke era modern dan Reformasi, pengelolaan haji makin terinstitusionalisasi. Pada 1999, Undang-Undang No.17 Tahun 1999 menjadi dasar hukum penyelenggaraan haji di Indonesia (Penyelenggaraan Haji di Indonesia – Nurul Huda). Lebih lanjut, UU No.8 Tahun 2019 menetapkan asas syariat, amanah, keadilan, kemanfaatan, profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, dan keselamatan sebagai pilar penyelenggaraan haji (Manajemen Haji Modern – Arif Setiawan).

Seiring dengan reformasi birokrasi, sejak Oktober 2024, Badan Penyelenggara Haji (Hajj Management Authority) dibentuk sebagai lembaga independen di luar Kemenag, dan pemerintah berencana menaikkan statusnya menjadi Kementerian Haji dan Umrah pada 2026 (Kebijakan Baru Penyelenggaraan Haji – Ridwan Fauzi).

  1. Manfaat Sosial dan Spiritualitas

Selain kemudahan logistik, perbaikan manajemen haji membawa manfaat sosial dan spiritual bagi jamaah (Nilai Sosial Ibadah Haji – Hamka). Dalam catatan Hamka, misalnya “Mandi Cahaya di Tanah Suci” (1950), digambarkan bagaimana jamaah dipimpin langsung oleh tokoh seperti beliau: praktisnya pengalaman spiritual dan pengajaran manasik secara langsung memperkaya kualitas perjalanan ibadah (Catatan Perjalanan Haji Hamka – Hamka). Misi ini juga merekatkan nilai-nilai nasionalisme dan solidaritas umat, serta memperkuat kemampuan diplomasi internasional berbasis agama (Haji dan Nasionalisme – Muhammad Yunus).

Perjalanan haji pasca kemerdekaan mencerminkan perjalanan Indonesia dalam mentransformasi pengelolaan ritual keagamaan dari kondisi serba terbatas menuju sistem modern, transparan, dan terarahkan (Sejarah Haji Indonesia – Andi Firmansyah). Dari Misi Haji I 1948 hingga pembentukan lembaga haji independen di tahun 2024–2026, perjalanan haji juga menjadi simbol kemajuan spiritual dan institusional bangsa (Kisah Perjalanan Haji Pertama Setelah Merdeka – Rahmat Hidayat).

Dampak positifnya dirasakan dalam hal aksesibilitas, keamanan, pendidikan ibadah, dan keberhasilan diplomasi keislaman (Haji dan Nasionalisme – Muhammad Yunus). Namun tantangan seperti antrean panjang karena kuota tetap perlu diantisipasi—membutuhkan perbaikan berkelanjutan dalam sistem dan kebijakan (Manajemen Haji Modern – Arif Setiawan).

Dengan fondasi sejarah dan regulasi yang lebih kuat, perjalanan haji di tanah air bisa terus ditingkatkan, menjaga nilai keimanan, pelayanan, serta jati diri bangsa (Penyelenggaraan Haji di Indonesia – Nurul Huda). Dan semua pihak yang menyelenggarakan haji berniat menjadi penyelenggara sebagai ibadah kepada Allah dengan menjadi pelayan para tamu Allah dalam mencapai haji yang mabrur.

H. Nasrudin, SPdI, SE, MSI, penulis Dosen Universitas Muhammadiyah dan Petugas Haji Daerah Purworejo tahun 2025