Di era digital saat ini, kehidupan manusia telah terhubung dengan teknologi di hampir setiap aspek. Arus informasi terus mengalir begitu cepat, menembus batas ruang dan waktu. Internet, media sosial, serta berbagai platform digital menjadi sumber utama pengetahuan sekaligus ruang interaksi masyarakat modern. Dunia pendidikan pun tidak bisa terlepas dari pengaruh besar teknologi, di mana proses belajar mengajar kini bertransformasi menuju sistem yang lebih terbuka, interaktif, dan serba digital.
Di tengah derasnya arus transformasi ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia menempati posisi yang strategis sekaligus menantang. Di satu sisi, pesantren diharapkan tetap menjaga tradisi keilmuan klasik yang menekankan nilai, adab, dan spiritualitas. Namun di sisi lain, pesantren juga dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak tertinggal dalam mengelola ilmu pengetahuan dan dakwah di dunia digital.
Oleh karena itu, literasi digital Islami menjadi kebutuhan mendesak bagi santri, ustaz, pengurus, dan masyarakat pesantren agar mampu menyaring informasi dengan bijak serta menggunakan teknologi sesuai dengan nilai-nilai syariah. Literasi digital Islami bukan hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat digital, tetapi juga kemampuan mengelola informasi dengan adab dan akhlak yang luhur.
Makna Literasi Digital Islami
Secara umum, literasi digital dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencari, menilai, menggunakan, memproduksi, dan memanfaatkan informasi di dunia digital secara efektif dan bertanggung jawab. Seseorang yang memiliki literasi digital yang baik tidak hanya mampu mengakses berbagai sumber informasi, tetapi juga dapat menyeleksi mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.
Ketika istilah ini dikaitkan dengan nilai-nilai Islam, muncullah konsep literasi digital Islami, yaitu kemampuan memanfaatkan teknologi dan informasi digital dengan dilandasi oleh etika, adab, serta nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, literasi digital bukan sekadar kecakapan teknis, melainkan juga mencakup kecerdasan spiritual dan moral.
Santri dan masyarakat pesantren yang memiliki literasi digital Islami tidak hanya aktif di dunia maya, tetapi juga berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Mereka menggunakan media sosial untuk berdakwah, menyebarkan kebaikan, dan menebarkan ilmu — bukan untuk menyebarkan hoaks, memfitnah, atau mengumbar keburukan orang lain. Literasi digital Islami juga mencakup kemampuan menjaga kehormatan diri, menahan diri dari ujaran kebencian, serta memanfaatkan teknologi sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaan. Dengan demikian, literasi digital Islami menjadi jembatan antara kecanggihan teknologi dan keindahan akhlak Islam.
Pesantren Sebagai Pusat Pembentukan Moral Digital
Sejak dahulu, pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan moral, akhlak, dan ilmu agama. Nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, tanggung jawab, serta hormat kepada guru menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan pesantren. Hubungan antara santri dan kiai bukan hanya bersifat akademik, tetapi juga spiritual dan emosional. Melalui keteladanan seorang kiai dan suasana religius di lingkungan pesantren, santri terbentuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan disiplin.
Dalam konteks digital, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi filter moral bagi masyarakat. Ketika arus informasi di dunia maya semakin sulit dikendalikan, pesantren dapat berperan sebagai penjaga nilai dan etika, memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan. Prinsip “adab sebelum ilmu” yang dijunjung tinggi di pesantren sangat relevan dengan tantangan era digital yang penuh kebebasan tanpa batas.
Karakter khas pesantren seperti keteladanan, pengamalan ilmu, dan adab dalam berinteraksi dapat menjadi fondasi penting dalam membangun etika digital. Jika prinsip-prinsip tersebut diterapkan di dunia maya, santri dapat menjadi contoh nyata bagaimana menggunakan teknologi secara bermartabat dan berakhlak.
Langkah Strategis Membangun Literasi Digital Islami di Pesantren
Peran pesantren dalam membangun literasi digital Islami memerlukan strategi yang terencana dan berkesinambungan. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:
1. Integrasi Teknologi dalam Kurikulum Pesantren
Pesantren dapat mulai mengintegrasikan pembelajaran berbasis teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman. Santri dapat diajarkan menggunakan perangkat digital untuk kegiatan dakwah, membuat konten edukatif, atau mengelola media sosial pesantren. Pembelajaran seperti video dakwah, tulisan digital, atau podcast Islami dapat memperluas jangkauan dakwah ke khalayak yang lebih luas. Dengan demikian, santri tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga produsen konten yang mendidik dan menginspirasi.
2. Pendidikan Etika Digital Islami
Salah satu tantangan besar di dunia digital adalah penyalahgunaan media sosial. Pesantren perlu menanamkan nilai-nilai adab dalam bermedia. Santri harus dididik agar tidak mudah menyebarkan berita tanpa tabayyun (klarifikasi), tidak terlibat dalam ghibah digital, serta tidak ikut menyebarkan ujaran kebencian. Etika digital Islami berarti menggunakan media dengan niat baik dan cara yang benar, sesuai dengan prinsip “berkata baik atau diam”.
3. Pelatihan Santri sebagai Duta Literasi Digital
Pesantren dapat melatih santri menjadi duta literasi digital Islami — penggerak dunia maya yang menyebarkan pesan-pesan positif dan edukatif. Melalui pelatihan content creator Islami, santri dapat belajar menulis artikel, membuat video pendek dakwah, hingga mengelola akun media sosial dengan konten yang menyejukkan. Pembentukan komunitas santri literat digital juga dapat memperkuat jaringan dakwah pesantren di ruang digital.
4. Kolaborasi dengan Dunia Pendidikan dan Teknologi
Untuk memperkuat kemampuan digital, pesantren perlu menjalin kerja sama dengan kampus, lembaga teknologi, maupun instansi pemerintah di bidang komunikasi dan pendidikan. Kolaborasi ini bisa berupa pelatihan, workshop, atau program peningkatan kapasitas santri dalam bidang teknologi informasi. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjaga warisan keilmuan klasik, tetapi juga mampu berperan aktif dalam membentuk masyarakat digital yang cerdas dan berakhlak.
Tantangan dan Peluang
Perjalanan menuju pesantren digital tentu tidak lepas dari tantangan. Banyak pesantren di pelosok masih menghadapi keterbatasan fasilitas teknologi seperti jaringan internet yang lemah atau perangkat digital yang terbatas. Selain itu, kemampuan sumber daya manusia di bidang teknologi juga belum merata, baik di kalangan guru maupun santri. Tantangan lainnya adalah risiko penyalahgunaan media digital yang dapat menggerus nilai moral dan menyebabkan ketergantungan terhadap dunia maya.
Namun di balik tantangan tersebut, terbentang peluang besar. Santri — dengan jumlah yang sangat banyak di Indonesia — memiliki potensi luar biasa sebagai generasi dakwah digital. Dengan bimbingan yang tepat, mereka dapat menjadi agen perubahan positif yang menyebarkan nilai Islam melalui platform digital. Pesantren pun berpeluang menjadi pusat produksi konten positif bernuansa keislaman, seperti tulisan ilmiah, video dakwah, hingga karya kreatif yang mencerdaskan umat.
Penutup
Pesantren memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat digital yang berakhlak. Dengan perpaduan antara tradisi keilmuan Islam dan keterampilan digital, pesantren dapat melahirkan generasi santri yang cerdas, bijak, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Literasi digital Islami bukan hanya tentang penguasaan perangkat, tetapi juga tentang kesadaran bahwa setiap aktivitas di dunia maya memiliki nilai moral dan konsekuensi ukhrawi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan kolaborasi antara semua pihak — para kiai sebagai pembimbing spiritual, santri sebagai penggerak utama, pemerintah sebagai penyedia fasilitas dan kebijakan, serta masyarakat sebagai pendukung lingkungan literasi yang sehat.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
> وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”
(QS. Thaha [20]: 114)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa ilmu, termasuk ilmu digital, harus terus dikembangkan dengan niat yang lurus dan disertai nilai-nilai keislaman. Pesantren, dengan seluruh tradisinya, dapat menjadi benteng moral sekaligus pionir dalam membangun literasi digital Islami, menuju masyarakat yang berilmu, berakhlak, dan berperadaban tinggi.
Jakarta, 5 November 2025
Idi Darusman, S.H.I., M.Pd, Penulis adalah Pegawai di Yayasan Darunnajah Jakarta.






