Opini: Marsinah dan Soeharto: Bingkai Kepahlawanan yang Retak

Keputusan pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto pada Senin, 10 November 2025, menimbulkan ironi sejarah yang sulit diabaikan.

Pada hari yang sama, negara juga memberikan gelar pahlawan kepada Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh secara keji pada 1993 dan sejak lama dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru.

 

Dua nama ini, Marsinah dan Soeharto, berdiri pada dua kutub sejarah yang saling berhadapan. Dan kini, negara menyandingkannya dalam satu panggung kepahlawanan.

 

Marsinah adalah korban. Soeharto adalah kepala rezim yang bayang-bayang kekuasaannya menaungi rentetan pelanggaran HAM berat. Menempatkan keduanya dalam penghormatan yang sama bukan hanya janggal, tetapi juga mencederai ingatan kolektif bangsa.

 

Penganugerahan gelar pahlawan kepada Marsinah sejatinya merupakan pengakuan negara atas pelanggaran HAM yang menimpanya. Namun ketika gelar serupa diberikan kepada Soeharto di momen yang sama, pengakuan tersebut seolah kehilangan makna. Negara seperti sedang memajang foto korban berdampingan dengan foto pemimpin rezimnya dalam satu bingkai: rapi, formal, namun problematis.

Pendukung Soeharto selalu mengulang argumen klasik: “Bapak Pembangunan.” Namun pembangunan kerap menjadi tembok besar untuk menutupi sisi gelap sejarah yang tak bisa dihapus—pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi sistemik.

Komnas HAM, dalam pernyataannya pada 11 November 2025, secara tegas menyatakan keberatan. Mereka menyebut keputusan tersebut “mencederai fakta sejarah Orde Baru” dan “melukai perasaan keluarga korban”. Dalam catatan lembaga itu, pelanggaran HAM di era Soeharto mencakup Peristiwa 1965–1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1983–1985, Tragedi Tanjung Priok 1984, DOM Aceh dan Papua, penculikan aktivis prodemokrasi, hingga Kerusuhan Mei 1998 yang mencakup pemerkosaan massal. Marsinah adalah bagian dari daftar panjang itu.

Di luar pelanggaran HAM, masalah korupsi pun tak kalah kelam. Pada 2004, Transparency International menempatkan Soeharto sebagai “koruptor paling kaya di dunia”, dengan estimasi penggelapan negara mencapai US$15–35 miliar. Klaim bahwa ia tidak pernah terbukti korupsi adalah manipulasi fakta.

Soeharto memang lolos dari jerat pidana setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 pada 1999 dengan alasan kesehatan, tetapi putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata menyatakan Yayasan Supersemar—yang dipimpin Soeharto—bersalah atas penyalahgunaan dana negara dan diwajibkan mengembalikan kerugian sebesar US$314 juta.

Karena itu, keputusan Presiden Prabowo untuk menyandingkan Marsinah dan Soeharto dalam gelar pahlawan bukan sekadar kebijakan kontroversial. Ia adalah kontradiksi moral. Upaya memaksakan narasi rekonsiliasi tanpa keadilan; upaya mengaburkan garis antara pelaku dan korban.

Pahlawan, pada akhirnya, adalah acuan moral yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Jika negara menempatkan Soeharto sebagai acuan, pesan apa yang sedang kita kirimkan? Bahwa pelanggaran HAM berat dan korupsi miliaran dolar dapat dimaafkan begitu saja?

Menghormati Marsinah dan Soeharto secara bersamaan bukanlah penghormatan. Itu adalah pengaburan sejarah, sekaligus penghinaan terhadap martabat para korban dan nilai keadilan yang mereka perjuangkan.

 

Kinanti Syhaumi Prameswari, Penulis adalah Mahasiswi Prodi Perpajakan Universitas Airlangga