Dalam konteks ini kita juga perlu membaca relasi RG dengan Jokowi dan penentang RG sendiri. Selalu ada sisi menarik menganalisa hubungan ketiganya. Pernyataan RG yang kritis dalam menilai kebijakan-kebijakan Jokowi, merupakan sikap reaktif RG atas dorongan kekuasaan eksplisit Jokowi yang akhir-akhir ini ditunjukan di depan publik. Mulai dari cawe-cawe Jokowi pada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan, hingga kerjasama dengan RRC soal Ibu Kota Nusantara (IKN), yang dipandang lebih membawa kepentingan oligarki dibanding kepentingan rakyatnya.
Di sisi lain, sebagai individu yang menempatkan diri selaku intelektual kritis, impuls kekuasaan implisit sebenarnya juga ditunjukkan oleh RG sendiri. Meski secara tidak langsung menyatakan keinginannya mengendalikan atau mempengaruhi orang lain, tapi dengan mengkritik kebijakan Jokowi, RG berusaha membangun sekaligus mempengaruhi opini publik tentang pemerintah lewat kuasa nalarnya.
Dengan mencermati relasi-relasi ini kita menemukan satu hal: “perselisihan” antara RG dengan Jokowi dan para pendukung Jokowi merupakan cerminan dari impuls kekuasaan yang ada di masyarakat Indonesia.
Posisi Jokowi yang tidak langsung bereaksi memang patut diapresiasi. Tanggapan Menkopolkam Mahfud MD mampu “menengahi” polemik RG dengan pendukung Jokowi cukup dengan mengatakan apa yang diopinikan RG sebagai “hal remeh”. Meski harus diakui posisi Jokowi cukup rentan karena opini yang berkembang dari RG bisa saja mengancam kebijakan-kebijakannya.
Bedanya reaksi istana dengan reaksi arus bawah pendukung presiden setidaknya menyiratkan bahwa kekuasaan sebagai hal paling penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Maksudnya, pihak istana menyadari kekuasaan eksplisit presiden harus lebih terkendali dibanding mengikuti impuls kekuasaan implisit arus bawah (pendukung). Menjauhkan kekuasaan yang digunakan secara negatif itu lebih penting sehingga kebebasan berekspresi masyarakat tetap terjaga.
