Editorial: Perda Disabilitas dan Keberpihakan Pemerintah?

Rapat Paripurna DPRD Subang pada Rabu, 25 Juni 2025, akhirnya menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas menjadi Perda.

Ini seharusnya menjadi kabar menggembirakan bagi seluruh warga, terlebih bagi kalangan penyandang disabilitas yang selama ini menanti payung hukum yang adil dan berpihak.

Namun euforia itu mendadak surut ketika Fraksi Partai NasDem memilih walk-out dari sidang paripurna. Mereka kecewa karena usulan pemberian insentif bulanan bagi penyandang disabilitas tidak diakomodasi dalam draf akhir Perda. Sebuah sikap politik yang patut dihormati, sekaligus menyisakan tanda tanya besar tentang substansi keberpihakan pemerintah dalam regulasi yang digadang-gadang lahir dari semangat inklusif dan keadilan sosial.

Apakah Perda Disabilitas ini benar-benar berpihak, atau sekadar formalitas administratif belaka?

Usulan pemberian insentif Rp2 juta per bulan bagi penyandang disabilitas sejatinya bukan angka semata. Ia adalah simbol bahwa negara—melalui pemerintah daerah—hadir, melihat, dan menghargai martabat serta perjuangan kelompok difabel. Kehadiran pemerintah bukan hanya melalui pidato dan sambutan indah, tapi lewat kebijakan nyata yang bisa dirasakan langsung oleh mereka yang terdampak.

Kita sadar, tidak semua kebijakan bisa langsung terwujud karena keterbatasan anggaran. Namun, tidak masuknya usulan insentif ini bahkan sebagai klausul arah kebijakan atau pasal transisi menunjukkan bahwa diskursus soal disabilitas masih dipinggirkan. Padahal, di tengah gelombang semangat inklusi di berbagai daerah lain, Subang seharusnya bisa mengambil langkah lebih progresif.

Perlu kita catat pula, ini bukan sekadar soal ‘uang’, tetapi tentang pengakuan dan penghormatan. Penyandang disabilitas bukan kelompok yang harus selalu diberi belas kasihan, tapi warga negara yang memiliki hak yang setara. Mereka tidak minta dikasihani, tapi diperjuangkan.

Fraksi NasDem telah menunjukkan sikap politik yang, meski kontroversial, mencerminkan keberanian memperjuangkan suara yang tak terdengar. Apakah semua metode dan usulannya tepat? Belum tentu. Tapi substansi perjuangannya layak dipikirkan ulang.

Kini, Perda telah disahkan. Tugas kita bersama—pemerintah, DPRD, masyarakat sipil, dan media—adalah memastikan bahwa pelaksanaan Perda ini tidak berhenti di ruang paripurna dan kertas lembaran daerah. Perlu keberanian politik dan komitmen moral agar Perda ini benar-benar menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar alat pencitraan birokrasi.

Pemerintah daerah dan DPRD masih punya waktu untuk menebus kelemahan ini. Revisi bisa dilakukan, peraturan turunan bisa disusun, dan anggaran bisa dialokasikan. Yang dibutuhkan saat ini hanyalah satu hal: kemauan untuk benar-benar berpihak.

Karena inklusi sejati bukan sekadar kata indah dalam sambutan, tetapi tindakan nyata dalam kebijakan.