[OPINI] Bajak Laut di Tanah Pahlawan

SUBANG, TINTAHIJAU.com — Ada pemandangan yang janggal namun menohok di jalanan Indonesia menjelang 17 Agustus 2025. Di bawah Merah Putih yang berkibar gagah, tampak bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami—simbol Bajak Laut Topi Jerami dari anime One Piece.

Tidak hanya di perkotaan, fenomena ini menyebar hingga ke desa-desa dan daerah pelosok, terpasang di rumah warga, kendaraan, bahkan kafe-kafe anak muda. Bukan sekadar iseng remaja atau tren media sosial belaka. Ini adalah tangisan jiwa bangsa yang terluka.

Fenomena pengibaran bendera One Piece ini bukan tentang anime. Ini tentang jiwa masyarakat yang sedang mencari tempat berlabuh di negerinya sendiri. Ketika rakyat memilih simbol “bajak laut” sebagai representasi diri, ada sesuatu yang mendasar rusak dalam hubungan antara negara dan warganya. Pilihan ini muncul bukan tanpa alasan—ia lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap serangkaian kebijakan yang dirasakan memberatkan: pajak-pajak baru yang mencekik, rekening yang diblokir PPATK tanpa proses hukum yang jelas, klaim asuransi kesehatan yang kini harus dibayar sendiri 10 persen, hingga ancaman penyitaan tanah oleh negara.

Ironi paling dalam dari fenomena ini terletak pada pilihan simbolnya. Bajak laut, dalam narasi konvensional, adalah penjahat laut yang melawan otoritas. Namun dalam One Piece, Luffy dan krunya justru menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang korup dan menindas. Mereka yang dicitrakan sebagai “penjahat” malah menjadi pahlawan bagi yang tertindas. Bukankah ini cermin sempurna kondisi kebatinan masyarakat kita? Ketika mereka yang seharusnya menjadi pelindung malah dirasakan sebagai beban, dan mereka yang dilabeli “pembangkang” justru dianggap lebih mewakili hati nurani rakyat.

Reaksi keras dari sebagian elite politik justru memperkuat makna simbolik ini. Firman Soebagyo, Wakil Ketua Fraksi Golkar di MPR, bahkan menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai “bagian dari provokasi yang akan merugikan bangsa dan negara” dan menyebutnya sebagai “bagian dari makar.” Respons ini menunjukkan betapa jauhnya jarak antara pemahaman elite politik dengan suasana kebatinan rakyat. Yang dilihat sebagai ancaman oleh penguasa, justru dipandang sebagai ekspresi kebebasan oleh masyarakat.

Sebaliknya, tanggapan yang lebih bijaksana datang dari Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya, yang menilai pengibaran bendera One Piece sama halnya dengan pengibaran bendera organisasi seperti Pramuka atau PMI. Bahkan Drajat Tri Kartono, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret, melihat fenomena ini sebagai pengembangan identitas budaya yang menunjukkan simbol kepahlawanan alternatif dari basis rakyat yang kreatif dan inovatif.

Generasi yang memilih bendera One Piece ini adalah generasi yang tumbuh dengan janji-janji perubahan, tapi yang mereka rasakan adalah siklus yang sama: beban hidup bertambah sementara layanan publik menurun, suara rakyat diabaikan, sementara elite politik sibuk bermain kuasa. Mereka tidak memilih cara konvensional untuk bersuara—demo, petisi, atau kritik langsung—karena cara-cara itu sudah terbukti tidak efektif. Sebaliknya, mereka memilih bahasa simbolik yang lebih kuat: bendera bajak laut yang mengatakan “kami lebih percaya pada keadilan Luffy daripada janji-janji politik kalian.”

Riki Hidayat, warga Jakarta Selatan yang memasang bendera One Piece di rumahnya, mengatakan dengan polos namun menusuk: “Saya cinta Tanah Air di mana saya bisa hidup di sana. Tetapi Tanah Air yang saya cintai itu, bukan Tanah Air tempat saya membayar pajak, namun tidak mendapatkan hak yang sepadan atas pajak yang saya bayar.” Kalimat sederhana itu merangkum seluruh trauma kolektif masyarakat—merasa terkhianati oleh negara yang justru seharusnya melindungi mereka.

Yang paling menyayat hati dari fenomena ini adalah fakta bahwa masyarakat menemukan representasi aspirasi mereka dalam karakter fiksi, bukan dalam pemimpin nyata. Luffy, seorang bajak laut dari manga, lebih dipercaya sebagai simbol keadilan daripada para “pahlawan reformasi” yang kini berkuasa. Dalam One Piece, Luffy dan krunya berjuang melawan World Government yang korup, melawan sistem yang menindas yang lemah, dan selalu berpihak pada keadilan meski harus melawan seluruh dunia. Bukankah ini yang diimpikan rakyat dari pemimpin mereka?

Bendera One Piece yang berkibar di bawah Merah Putih bukan pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya tercapai. Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah asing, tapi juga bebas dari penindasan sistemik oleh penguasa sendiri. Ketika masyarakat merasa lebih “merdeka” di bawah bendera bajak laut fiksi daripada bendera negara sendiri, itu adalah alarm terkeras bahwa ada yang salah dengan kontrak sosial antara negara dan rakyat.

Pemerintah bisa saja menganggap ini sebagai provokasi atau bahkan makar. Tapi sebelum menghakimi, merenung dulu: mengapa rakyat memilih bendera bajak laut? Apa yang membuat mereka merasa lebih terwakili oleh simbol “penjahat” daripada simbol negara? Jawaban atas pertanyaan itu adalah cermin paling jujur tentang kondisi jiwa bangsa kita hari ini—jiwa yang terluka, yang merindukan keadilan sejati, yang masih berharap pada “kemerdekaan” yang sebenarnya.

Oleh : A. Fras
Dosen Unsub dan pemerhati kebijakan publik