JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Pada tanggal 15 April 2025lalu sejumlah mantan pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman kelam mereka dalam sebuah audiensi bersama Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pertemuan yang berlangsung haru tersebut, para korban menyampaikan langsung kisah mereka kepada Wakil Menteri HAM, Mugiyanto.
Ida, salah satu mantan pemain sirkus yang kini harus menggunakan kursi roda, menceritakan kecelakaan tragis yang dialaminya saat pertunjukan di Lampung. Ia jatuh dari ketinggian, namun tidak segera mendapatkan pertolongan medis dari pengelola. Baru setelah kondisinya memburuk, Ida dibawa ke rumah sakit dan diketahui mengalami patah tulang. Peristiwa itu menjadi awal dari pertemuannya kembali dengan orang tuanya.
Cerita memilukan lainnya datang dari Butet, mantan pemain yang mengaku kerap mengalami kekerasan fisik, bahkan saat dirinya sedang hamil. Ia dipaksa tampil dalam kondisi kehamilan, dipukuli, hingga dirantai seperti binatang. Butet bahkan pernah dipisahkan dari bayinya dan dicekoki kotoran gajah hanya karena mengambil makanan.
“Aku tidak tahu siapa diriku. Namaku, umurku, atau siapa keluargaku,” ungkap Butet lirih, menggambarkan hilangnya identitas dan jati dirinya selama bertahun-tahun.
Trauma yang Menurun ke Generasi Berikutnya
Kisah Fifi, yang dibesarkan dalam lingkungan sirkus sejak bayi, menambah duka dalam. Belakangan ia baru mengetahui bahwa dirinya adalah anak kandung Butet, yang terpaksa menyerahkannya karena himpitan hidup. Fifi menceritakan pengalamannya diseret, dikurung di kandang macan, hingga melarikan diri ke hutan demi keselamatan.
Namun pelariannya tidak bertahan lama. Setelah ditangkap kembali, ia mengalami siksaan berat, termasuk disetrum hingga tak sadarkan diri dan dipasung.
Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menanggapi serius laporan ini. Ia berjanji akan memanggil pihak manajemen yang diduga terlibat, termasuk dari Taman Safari Indonesia. Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada lagi praktik kekerasan serupa yang terjadi di masa mendatang.
“Walau kejadian ini terjadi di era 70-an hingga 80-an, kita tetap bisa menjerat pelaku jika ditemukan unsur pidana,” tegas Mugiyanto.
Ia juga menyinggung rekomendasi dari Komnas HAM yang hingga kini belum direspons oleh pihak Taman Safari Indonesia. Pemerintah, menurutnya, berkomitmen memastikan kepatuhan terhadap hak asasi manusia oleh seluruh pihak, termasuk sektor swasta.
Muhammad Soleh, kuasa hukum para korban, menyampaikan bahwa upaya hukum sudah dilakukan sejak lama. Fifi pernah melaporkan dugaan pelanggaran Pasal 277 KUHP terkait penghilangan asal-usul ke Mabes Polri pada 1997, namun kasus itu dihentikan karena dianggap kurang bukti.
“Sampai hari ini, dari 16 korban yang kami dampingi, baru lima yang berhasil menemukan orang tuanya. Sisanya masih mencari identitas mereka,” ungkap Soleh.
Klarifikasi dari Taman Safari Indonesia
Merespons pemberitaan tersebut, manajemen Taman Safari Indonesia menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan bisnis maupun hukum dengan mantan pemain sirkus yang disebutkan. Mereka menegaskan bahwa perusahaan berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud dalam pengaduan.
“Kami tidak ingin nama baik Taman Safari Indonesia disangkutpautkan dalam masalah pribadi yang tidak ada kaitannya secara kelembagaan,” tegas pihak manajemen dalam pernyataan resminya.
Mereka juga mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menyikapi informasi di ruang digital dan tidak mudah terprovokasi oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta yang kuat.
Kisah yang diungkap dalam audiensi ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan pekerja hiburan. Terlepas dari waktu yang telah berlalu, keadilan bagi para korban tetap harus diupayakan. Pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat luas diharapkan dapat bersinergi untuk memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang kembali di masa depan.




