JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Polemik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara terkait empat pulau di perairan barat Indonesia akhirnya menemui titik terang. Pemerintah pusat melalui Presiden Prabowo Subianto secara resmi memutuskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Aceh. Keputusan ini menandai akhir dari ketegangan panjang yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.
Keputusan ini disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mewakili Presiden Prabowo pada Senin (16/6/2025). Menurutnya, penetapan tersebut didasarkan pada dokumen resmi hasil kajian lintas kementerian dan lembaga. Salah satu dokumen kunci yang menjadi dasar pengambilan keputusan adalah kesepakatan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatra Utara Raja Inal Siregar pada 22 April 1992 yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini.
“Bapak Presiden sudah memutuskan, berdasarkan dokumen-dokumen yang sah, keempat pulau tersebut secara administratif masuk ke wilayah Provinsi Aceh,” ujar Prasetyo. Ia menekankan, keputusan ini bertujuan untuk meluruskan informasi yang simpang siur dan mengakhiri ketegangan antarwilayah.
Kesepakatan 1992 Jadi Dasar Hukum
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa kesepakatan gubernur tahun 1992 merupakan dokumen penting dalam penetapan ini. Ia menyebutkan bahwa peta topografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) tahun 1978 yang menjadi rujukan dalam dokumen tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tidak termasuk dalam wilayah Sumatra Utara.
“Saat kita buka petanya, terlihat garis batas wilayah yang menunjukkan keempat pulau itu—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—berada di luar batas wilayah Sumut,” ujar Tito dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Selasa (17/6/2025).
Tito juga mengungkapkan bahwa saat Keputusan Mendagri 2022 yang memasukkan keempat pulau ke dalam Sumut diterbitkan, Pemerintah Aceh langsung menyampaikan keberatan dengan melampirkan salinan kesepakatan 1992. Namun karena dokumen tersebut hanya berbentuk fotokopi dan belum ditemukan versi aslinya, pemerintah belum bisa menindaklanjuti. Setelah upaya pencarian panjang dan validasi dokumen pada April 2025, Kemendagri akhirnya memastikan keabsahan dokumen tersebut.
Kepmendagri Akan Direvisi, Peta dan Nama Geografis Diubah
Sebagai langkah konkret, Mendagri Tito menyampaikan empat saran utama untuk memastikan kepastian hukum ke depan. Pertama, Gubernur Aceh dan Sumatra Utara diminta membuat kesepakatan baru terkait batas keempat pulau. Kedua, Kemendagri akan merevisi Keputusan Mendagri agar selaras dengan hasil akhir. Ketiga, Badan Informasi Geospasial (BIG) akan memperbarui Gazeter Republik Indonesia. Keempat, perubahan ini juga akan diberitahukan ke forum internasional, yakni United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN).
Wamendagri: Masih Ada yang Perlu Dikaji
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menambahkan bahwa dokumen kesepakatan 1992 memang menyebutkan batas wilayah antara kabupaten secara umum, namun tidak mencantumkan koordinat geografis secara presisi. Oleh karena itu, menurut Bima, Kemendagri tetap melakukan proses autentikasi dan pendalaman dokumen untuk menguatkan dasar hukum.
“Kita perlu memfokuskan kepada hasil perjanjian tahun 1992, kemudian juga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang dirujuk oleh Pak Jusuf Kalla beberapa waktu lalu,” kata Bima dalam wawancara di Kompas TV, Sabtu (14/6/2025).
Ia menegaskan bahwa kajian ulang ini melibatkan Tim Pembakuan Nama Rupabumi (PNR), tokoh masyarakat, anggota legislatif, serta pimpinan daerah agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan persoalan baru.
Yusril: Penetapan Bukan Berdasarkan Kepmendagri
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menekankan bahwa Keputusan Mendagri bukanlah dasar hukum final dalam menentukan batas wilayah provinsi.
“Penentuan batas wilayah ditetapkan melalui Peraturan Mendagri, bukan Keputusan Mendagri,” tegas Yusril. Ia juga mengingatkan bahwa penentuan batas tidak bisa semata-mata berdasar peta geografis, melainkan harus mempertimbangkan sejarah, budaya, dan persebaran penduduk.
Presiden Ambil Alih Sengketa
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo secara langsung mengambil alih proses penyelesaian sengketa ini setelah melihat dinamika yang berkembang di masyarakat. “Presiden akan segera mengambil keputusan, mempertimbangkan aspek historis dan administratif,” kata Hasan.
Keputusan presiden ini juga dimaksudkan untuk mencegah munculnya konflik horizontal di lapangan dan memperkuat persatuan antardaerah di wilayah barat Indonesia.
Dukungan Dua Gubernur
Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyambut baik keputusan tersebut. Ia menilai persoalan ini telah diselesaikan secara adil dan berdasarkan bukti-bukti yang sahih.
“Mudah-mudahan ini sudah clear, tidak ada masalah lagi, berdasarkan keputusan Bapak Presiden dan Mendagri, bahwa pulau tersebut dikembalikan ke Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution menunjukkan sikap dewasa dan kenegarawanan. Ia menegaskan bahwa keputusan ini tidak boleh menjadi pemicu konflik antarwarga dua provinsi. “Jangan mau terhasut, jangan terbawa gorengan. Kesepakatan ini bukan hanya tentang Aceh dan Sumut, tetapi untuk bangsa dan negara,” tuturnya.
Polemik Usai, Saatnya Bersatu
Dengan berakhirnya polemik empat pulau ini, pemerintah berharap masyarakat Aceh dan Sumatra Utara dapat kembali membangun hubungan harmonis sebagai provinsi bertetangga. Langkah tegas dan cepat dari Presiden Prabowo, serta koordinasi lintas kementerian, diharapkan menjadi contoh penyelesaian sengketa wilayah yang transparan, adil, dan berpijak pada dokumen historis yang sah.
Kini, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek telah resmi menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Pemerintah menekankan bahwa keputusan ini diambil bukan untuk memenangkan satu pihak, melainkan demi menjaga kedaulatan hukum dan kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.