Gubernur Jabar Wajibkan Penerima Bansos Ikut KB, Prioritaskan Vasektomi untuk Pria

BANDUNG, TINTAHIJAU.com — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tengah menggagas kebijakan baru yang cukup kontroversial. Ia berencana mewajibkan seluruh penerima bantuan sosial (bansos) di wilayahnya untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB), dengan penekanan khusus pada metode kontrasepsi permanen bagi pria, yaitu vasektomi.

Menurut Dedi, kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan anggota keluarga dalam satu rumah tangga yang selama ini terus menerima berbagai bentuk bantuan pemerintah. Ia menilai ketidakterkendalian jumlah anggota keluarga bisa membebani keuangan negara.

“Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, bantuan lahiran, rumah, bantuan non-tunai, keluarga dia. Uang negara jadi mikul satu keluarga,” tegas Dedi dalam pernyataannya di Bandung, Senin (28/4), mengutip Antara.

Ia menambahkan bahwa sebelum bantuan disalurkan, pihaknya akan memastikan terlebih dahulu apakah keluarga tersebut telah mengikuti program KB atau belum. “Kalau belum, KB dulu, harus KB pria (vasektomi),” tandasnya.

Vasektomi, Kontrasepsi Permanen yang Masih Dipandang Negatif

Vasektomi merupakan prosedur kontrasepsi permanen bagi pria yang dilakukan dengan memotong dan menyegel saluran vas deferens — saluran yang membawa sperma dari testis ke uretra. Meski tidak memengaruhi kemampuan ereksi, orgasme, maupun ejakulasi, prosedur ini masih kerap disalahpahami.

Menurut Mayo Clinic dan Johns Hopkins Medicine, vasektomi memiliki tingkat keberhasilan lebih dari 99 persen dalam mencegah kehamilan dan tidak berdampak pada hormon, gairah seksual, maupun ciri fisik pria. Pasien juga biasanya dapat kembali beraktivitas normal dalam waktu kurang dari satu minggu setelah prosedur.

Namun demikian, pemahaman masyarakat terhadap vasektomi masih minim. Deputi Advokasi BKKBN Pusat, Sukaryo Teguh Santoso, menegaskan bahwa banyak pria masih menganggap vasektomi sebagai bentuk “sunat kedua” atau sesuatu yang mematikan kemampuan seksual pria, padahal tidak demikian.

“Masih bisa ereksi dan ejakulasi. Masih tulen, enggak usah khawatir, joss,” ujar Teguh, seperti dikutip dari Kompas.com.

Ia juga menekankan pentingnya istirahat selama tiga hari setelah operasi untuk mencegah infeksi. Meski aman dan efektif, partisipasi pria dalam metode ini masih sangat rendah.

Partisipasi Vasektomi Masih Rendah

Data dari Profil Statistik Kesehatan 2023 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa hanya 0,21 persen pasangan usia subur di Indonesia memilih vasektomi. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan penggunaan kondom yang mencapai 2,44 persen.

Teguh menyebut minimnya sosialisasi dan pemahaman sebagai penyebab utama rendahnya partisipasi. “Banyak juga yang tidak disetujui sama pasangannya,” katanya. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah anggapan bahwa pria yang sudah vasektomi akan merasa ‘bebas’ dan bisa berhubungan seksual tanpa risiko kehamilan, yang memicu kecemasan dari pihak istri.

Tantangan dan Harapan

Kebijakan Gubernur Dedi ini tentu akan menuai pro dan kontra, terutama mengingat sensitivitas isu reproduksi dan gender dalam masyarakat. Namun ia menilai bahwa terobosan ini diperlukan demi keberlanjutan dan keadilan dalam penyaluran bantuan negara.

Langkah ini juga menyoroti pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif, serta perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan persuasif agar kebijakan seperti ini tidak menimbulkan resistensi sosial.

Apakah masyarakat Jawa Barat siap menerima kebijakan radikal ini? Hanya waktu dan sosialisasi yang akan menjawab.

Sumber: KOMPAS

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini