JAKARTA, TINTAHIJAU.com — Selama lebih dari 17 tahun, Rahayu Oktaviani—atau yang akrab disapa Ayu—mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan melestarikan owa Jawa (Hylobates moloch), salah satu primata endemik Indonesia yang kini terancam punah. Tidak hanya berfokus pada pelestarian satwa, Ayu juga turut memberdayakan perempuan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, tempat ia banyak menghabiskan waktunya bersama alam.
Ketertarikan Ayu terhadap dunia primata bermula di bangku kuliah saat ia menempuh pendidikan konservasi sumber daya hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Di sana, ia terinspirasi oleh tiga tokoh perempuan dunia yang dikenal sebagai “The Trimates”: Jane Goodall, Dian Fossey, dan Birutė Galdikas. Mereka adalah para pelopor perempuan dalam primatologi yang meneliti kera besar langsung di habitat alaminya. Khususnya, Ayu merasa sangat terinspirasi oleh Dr. Biruté Galdikas yang sejak 1971 telah meneliti orang utan di Kalimantan.
“Cinta pertama saya itu orang utan,” ujar Ayu. Ketertarikannya semakin kuat setelah menghadiri kuliah umum oleh Sri Suci Utami, ahli orang utan dari Indonesia. Ayu pun sempat ingin meneliti orang utan untuk skripsinya pada tahun 2008, namun keterbatasan akses ke habitat di Kalimantan membuatnya harus mencari alternatif lain.
Pilihan itu jatuh kepada owa Jawa—primata endemik Pulau Jawa yang tidak hanya unik secara biologis, tetapi juga terancam punah akibat kerusakan habitat. Penelitian Ayu saat itu berfokus pada perilaku vokalisasi owa Jawa, termasuk frekuensi, durasi, serta perbedaan suara antara jantan, betina, dan anak.
Pertemuan pertamanya dengan owa Jawa di alam liar terjadi di Citalahab, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. “Pertama kalinya saya tahu ada satwa primata yang punya suara seindah itu. Saya tercengang, kok saya enggak tahu apa-apa tentang satwa ini,” kenangnya.
Secara lokal dikenal sebagai “uwek”, owa Jawa memiliki ciri khas berupa nyanyian duet yang merdu dan dipercaya dalam cerita rakyat sebagai pembawa hujan. Satwa ini juga dikenal monogami dan membentuk pasangan seumur hidup—karakteristik langka di dunia hewan.
Melalui kerja keras dan dedikasi bertahun-tahun, Ayu tidak hanya menyumbangkan pengetahuan ilmiah soal perilaku owa Jawa, tetapi juga mengembangkan pendekatan konservasi yang melibatkan masyarakat sekitar, terutama perempuan, agar turut menjaga hutan dan spesies di dalamnya.
Atas kontribusinya yang luar biasa, Rahayu Oktaviani dianugerahi Whitley Awards pada 30 April lalu—sebuah penghargaan bergengsi dari Whitley Fund for Nature, organisasi amal lingkungan asal Inggris. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas perjuangannya menjaga kelestarian owa Jawa dan mengangkat nama Indonesia di panggung konservasi global.











