Profil  

Tamu Istimewa dari Negeri Belanda, Aboeprijadi Santoso

Aboeprijadi Santoso memegang koran berbahasa Belanda "Nieuwsgier" terbitan Jakarta tahun 1953 | Foto: Ist.

Ketika mulai bekerja di Radio Nederland pada tahun 1982, ia memanfaatkan kesempatan ini untuk mewawancarai para pemimpin kemerdekaan Timor Timur di pengasingan dan di Timor Timur sendiri.

Pada tahun 1994, ia mengunjungi Timor Timur untuk pertama kalinya, beberapa kali setelahnya dan kembali pada bulan Agustus dan September 1999 untuk melaporkan Referendum Kemerdekaan tahun 1999 dan tindakan pembalasan yang dilakukan oleh pihak Indonesia.

Pada tahun 2014, pak Tossi menerima penghargaan “Insígnia Ordem de Timor-Leste” dari Presiden Timor Timur yang sekarang merdeka, Taur Matan Ruak. Karya dan tulisannya, terutama yang berkaitan dengan Timor Timur, baik naskah-naskahnya, siaran radionya, maupun bukunya “Jejak Jejak Darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur” (1996), menjadi referensi penting.

Dia meliput dan menulis liputan eksklusif, terutama mengenai Aceh dan Timor Leste, dan sahabat dekatnya, Ersa Siregar dari RCTI, tewas tertembak. Sebelum pergi ke Lhokseumawe untuk meliput konflik Aceh, Ersa Siregar dan Tossi menginap di Hotel Sultan, Banda Aceh.

Aboeprijadi Santoso selalu melakukan liputan di daerah berbahaya, seperti Manila saat revolusi kuning (1986), Moskow saat perlawanan terhadap Gorbachev (1991), dan Phnom Penh (1997). Ia terkenal dengan laporannya yang kritis dan mendukung Timor Leste.

Sejak tahun 1984, Pak Tossi bekerja sebagai jurnalis di bagian Redaksi Indonesia Radio Nederland Wereldomroep (RNW). Tossi adalah individu yang menguasai sejarah politik Indonesia, jurnalis yang bersemangat.

Ia juga banyak menulis kolom di The Jakarta Post (sejak 1996) dan sebelumnya di majalah berita Editor, kadangkala juga di Tempo. Tulisan-tulisannya dihimpunnya di situs-web-nya: www.aboeprijadi.com.

Perjumpaan antara pendengar dan penyiar Radio Nederland (Ranesi) di Saung Angklung Udjo, Bandung beberapa waktu yang lalu.

Tossi lahir di Blitar tahun 1947, sebuah kota di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 1967, ia pindah ke Eropa, di mana ayahnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Brussel. Tossi menyelesaikan SMA-nya di Sekolah Indonesia di Wassenaar, dan akhirnya melanjutkan studinya di Universiteit van Amsterdam, dengan fokus pada politik, masyarakat, dan sejarah Asia Tenggara.

Tossi bertemu dengan istrinya, Mutia Samoen, yang juga berasal dari Indonesia, di Amsterdam. Mutia pernah kuliah senirupa (grafik) di Rietveld Academie. Saat ini mereka memiliki tiga anak; Putri, Asri, dan Ilham, dan tiga cucu.

Tossi banyak memfokuskan diri pada laporan medan perang dan daerah konflik. Tahun demi tahun berlalu, semakin banyak laporannya tentang berbagai situasi krisis dengan sudut pandang yang tajam. Tossi dengan mudah dapat menghubungi berbagai tokoh, seperti Uskup Belo, Presiden Xanana Gusmao dari Timor Leste, sahabatnya yaitu mantan Presiden Abdurracman Wahid, aktivis GAM, dan banyak lagi.