BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Suhu udara di Bandung Raya kembali terasa menusuk tulang pada dini hari hingga pagi, di tengah berlangsungnya musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandung menjelaskan, fenomena ini dipicu oleh kombinasi angin monsun Australia dan berkurangnya tutupan awan konvektif.
Kepala BMKG Bandung, Teguh Rahayu, mengatakan angin monsun Australia membawa massa udara dingin dan kering sehingga kelembapan udara menurun. Akibatnya, panas matahari diterima secara maksimum pada siang hari, namun cepat dilepaskan kembali pada malam hingga dini hari, membuat suhu terasa lebih dingin dari biasanya.
BMKG mencatat suhu minimum pada 15 Agustus 2025 mencapai 17,2°C di Stasiun Geofisika Bandung, sedangkan di Pusat Observasi Geofisika Lembang yang berada di dataran tinggi suhunya lebih rendah, yakni 14,4°C. Perbedaan ini dipengaruhi oleh variasi ketinggian wilayah di Bandung Raya.
Selain pengaruh monsun, faktor lain yang memengaruhi suhu dingin antara lain suhu permukaan laut yang relatif hangat, gelombang atmosfer Rossby Ekuator, serta adanya sirkulasi siklonik yang memicu perlambatan dan pertemuan angin. BMKG memprediksi kondisi udara dingin akan terus terjadi hingga akhir Agustus 2025.
Meski udara dingin dinilai menyegarkan bagi sebagian warga, BMKG mengingatkan potensi angin kencang yang dapat merusak bangunan ringan dan menumbangkan pohon. Hujan lebat pun masih berpeluang terjadi, meski sedang musim kemarau, dengan risiko genangan, banjir, hingga longsor di wilayah perbukitan.
Masyarakat diimbau untuk mengenakan pakaian hangat, minum air hangat, dan memantau perkembangan cuaca melalui kanal resmi BMKG agar tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem.



