JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, fenomena La Niña yang diprediksi terjadi pada Agustus 2024 tidak perlu disamakan dengan badai tropis.
La Niña dan El Niño adalah fenomena iklim yang berkaitan dengan perubahan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan memiliki dampak yang berbeda terhadap cuaca global, termasuk Indonesia.
La Niña
La Niña terjadi ketika suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah suhu normal. Hal ini menyebabkan angin pasat menguat dan membawa massa air hangat ke arah Pasifik Barat. Proses ini, yang disebut upwelling, mengakibatkan massa air dingin dari kedalaman laut naik ke permukaan, menurunkan suhu permukaan laut lebih lanjut.
Dampak dari La Niña termasuk peningkatan curah hujan di berbagai wilayah, termasuk Indonesia, dan musim hujan yang berlangsung lebih lama. Meskipun demikian, La Niña bukanlah badai tropis atau topan besar. Sebaliknya, fenomena ini hanya meningkatkan pembentukan awan-awan hujan dan menambah massa udara basah di atmosfer.
El Niño
Sebaliknya, El Niño adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah di atas kondisi normal. Istilah “El Niño,” yang berasal dari bahasa Spanyol dan berarti “anak laki-laki,” awalnya digunakan oleh nelayan Peru untuk menandai arus laut hangat yang muncul menjelang Natal. El Niño dapat menyebabkan penurunan curah hujan di beberapa wilayah dan berpotensi menyebabkan kekeringan.
Singkatnya, La Niña dan El Niño adalah dua sisi dari koin yang sama dalam siklus iklim Samudra Pasifik. La Niña ditandai dengan pendinginan suhu laut dan peningkatan curah hujan, sementara El Niño ditandai dengan pemanasan suhu laut dan penurunan curah hujan. BMKG menekankan pentingnya memahami perbedaan ini untuk mempersiapkan dampak cuaca yang mungkin timbul dan menghindari kekeliruan dalam menganggap La Niña sebagai badai tropis.
