Ragam  

Kisah-kisah Unik di Balik Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Saikire di zaman Jepang (Sumber:History/Kompas.com -)

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Bulan Agustus merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia, karena pada bulan inilah hari kemerdekaan diperingati, dengan puncaknya pada tanggal 17 Agustus.

Namun, kisah-kisah di sekitar proklamasi kemerdekaan tidak hanya tentang pertempuran heroik yang sering disebut sebagai zaman revolusi. Terdapat pula cerita-cerita lucu, haru, dan penuh ketegangan yang sering kali tidak diketahui banyak orang.

Banyak buku yang ditulis oleh para saksi hidup zaman tersebut, menceritakan pengalaman mereka. Salah satunya adalah wartawan senior Rosihan Anwar yang menulis “Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi” (Pustaka Jaya, 1976). Ada juga H. Soebagijo I.N., seorang wartawan Antara, yang mengisahkan pengalamannya dalam buku “Pengalaman Masa Revolusi” (Pustaka Jaya, 1982).

Dalam salah satu kisahnya, Soebagijo menggambarkan suasana di masa penjajahan Jepang, beberapa bulan sebelum kemerdekaan. Contohnya, para pelajar di sekolah Ika Dai Gakku (Sekolah Tinggi Kedokteran) mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan.

Mereka menolak untuk dicukur botak, tindakan yang juga dilakukan oleh para pelajar di Koottoo Shihan Gakko (Sekolah Guru Tinggi) yang berlokasi di Pegangsaan Timur 17, Jakarta. “Antara enam puluh dan tujuh puluh orang pemuda pelajar, meninggalkan asrama beramai-ramai,” tulis Soebagijo. Hal ini tentu saja membuat para pengajar Jepang pusing.

Pelarian dari asrama adalah puncak dari ketidakpuasan mereka karena perlakuan yang tidak manusiawi. Jatah makanan mereka dikurangi sementara mereka harus bekerja keras membantu kepentingan Jepang seperti mengangkut gula, beras, dan kayu. Mereka juga harus memotong rumput di lapangan terbang Kemayoran dan mengangkut bambu di Kali Ciliwung dekat Manggarai.

Pembangkangan yang paling berat adalah ketika para pemuda menolak melakukan saikere, yaitu membungkuk ke arah Tokyo untuk menghormati Tenno Heika (Kaisar Jepang). Pembangkangan ini dipimpin oleh para pengurus pelajaran agama yang diketuai oleh Anton Timur Djaelani, yang kelak menjadi Kepala Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Agama.

Fatwa agar tidak melakukan saikere dikeluarkan oleh Haji Abdulkarim Amrullah, ayah dari Hamka, yang saat itu tinggal di Tanah Abang setelah diasingkan oleh Belanda dari Sumatera Barat ke Sukabumi, Jawa Barat.

Para pemuda pembangkang ini biasanya tetap menegakkan kepala saat upacara saikere. Meski tidak memakan korban, perilaku mereka akhirnya diketahui oleh para guru Jepang (Shidokan). Dengan wajah merengut, guru itu hanya bisa mengumpat, “Kokoro warui,” yang artinya “hati jahat.”

Meski begitu, para pelajar ini selalu dihantui rasa takut jika ketahuan oleh kenpetai, tentara Jepang yang terkenal kejam. “Berbagai macam cara mereka lakukan agar bisa mengeruk berbagai pengakuan dari orang-orang yang mereka curigai,” kata Soebagijo.

Untungnya, hingga Jepang kalah dan Indonesia merdeka, para pemuda ini selamat dari tangan kenpetai. “Sungguh bersyukur dan mengucapkan alhamdulillah tiap kali saya terkenang peristiwa yang sangat menegangkan itu,” katanya.

Beberapa pemuda pembangkang ini termasuk kadet Akademi Militer di Serpong, Tangerang seperti Subiyanto (paman Prabowo Subianto), Hadjowijoto, Suwarjo Citrowigeno, Tatang Mahmud (kemudian menjadi pejabat di Departemen Tenaga Kerja), Martono (bekas Ketua Badan Sensor Film dan Menteri Transmigrasi), Brigjen Widya Latif (pernah menjabat juru bicara kepresidenan di awal era Soeharto), dan J.C.T Simorangkir (pakar hukum tata negara dan anggota DPR Gotong Royong). Itulah sebagian nama yang tercatat, namun masih banyak yang tidak tercatat.

Cerita-cerita ini mengingatkan kita bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya berisi pertempuran fisik, tetapi juga penuh dengan perjuangan mental dan moral yang tidak kalah pentingnya. Semangat juang para pemuda di masa itu patut dikenang dan dihargai oleh generasi sekarang.

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini