BANDUNG, TINTAHIJAU.com — Lapangan Tegallega di Kota Bandung pernah menjadi saksi bisu salah satu peristiwa paling mengerikan di masa kolonial Hindia Belanda. Ribuan warga nyaris menjadi korban ledakan dinamit saat hendak menyaksikan pacuan kuda di tempat itu. Beruntung, aparat keamanan lebih dulu mengetahui adanya bahan peledak yang dipasang di area tersebut, sehingga warga sempat dievakuasi.
Ledakan akhirnya terjadi dan merusak dinding tembok panggung pacuan kuda. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Tragedi Dinamit Bandung 1893”, yang mengguncang pemerintahan kolonial dan menyeret sejumlah pejabat lokal ke pengasingan.
Awal Konflik: Perebutan Kursi Bupati Bandung
Kisah ini bermula dari wafatnya Bupati Bandung Raden Adipati Kusumadilaga pada 11 April 1893. Menurut kebiasaan kala itu, jabatan bupati biasanya diwariskan kepada anak atau kerabat dekat. Namun, putra Kusumadilaga, R. Muharam, masih berusia terlalu muda untuk dilantik.
Beberapa nama dari keluarga priyayi Bandung diajukan sebagai calon pengganti, di antaranya:
-
R. Demang Soeria Kartahadiningrat, Patih Cicalengka.
-
R. Nataningrat, Asisten Wedana Buahbatu.
-
R. Rangga Somanagara, Patih Bandung.
Namun, keputusan pemerintah kolonial justru jatuh pada R.A.A. Martanegara, keturunan Pangeran Kornel dari Sumedang, yang tidak memiliki hubungan langsung dengan keluarga Kusumadilaga. Keputusan ini ditetapkan melalui telegram pada 28 Juni 1893, dan Martanegara resmi dilantik sebagai Bupati Bandung pada 14 Juli 1893.
Ledakan Pertama di Jembatan Cikapundung
Pelantikan Martanegara berlangsung meriah dan dihadiri banyak pejabat dari berbagai wilayah Priangan. Namun, di tengah suasana pesta, terdengar suara ledakan keras dari arah timur pendopo kabupaten. Setelah diperiksa, ternyata terjadi ledakan di Jembatan Cikapundung.
Anehnya, laporan resmi kepada bupati justru menyebut bahwa ledakan itu hanya tembakan seorang tamu Inggris yang mengejar kelelawar — sebuah kebohongan yang menutupi kejadian sebenarnya.
Ledakan Besar di Pacuan Kuda Tegallega
Tiga hari kemudian, pada 17 Juli 1893, ledakan yang jauh lebih besar terjadi di Lapangan Tegallega. Dinamit yang ditanam di sekitar area pacuan kuda meledak, merusak panggung utama dan memicu kepanikan besar.
Investigasi mengungkap bahwa bahan peledak itu dipasang di beberapa titik dan direncanakan untuk menewaskan pejabat-pejabat Belanda, termasuk Bupati baru R.A.A. Martanegara.
Untungnya, rencana itu gagal setelah aparat mendapat bocoran dari salah satu anggota komplotan. Meski begitu, peristiwa ini meninggalkan ketakutan dan ketegangan panjang di Bandung.
Dalang di Balik Tragedi
Penyelidikan berlangsung berbulan-bulan dan melibatkan sekitar 56 orang saksi dan tersangka. Akhirnya, kecurigaan mengarah kepada R. Rangga Somanagara, Patih Bandung yang juga menantu dari mantan Bupati Wiranatakusumah IV (Dalem Bintang).
Motifnya diyakini berasal dari kekecewaan mendalam karena dirinya tidak terpilih sebagai Bupati Bandung, meski memiliki jabatan tinggi dan hubungan darah dengan keluarga bangsawan.
Somanagara bersama ayahnya, R. Demang Soeria di Praja — seorang pensiunan jaksa kepala — disebut sebagai otak di balik rencana teror dinamit. Mereka menyiapkan serangan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan pemerintah kolonial yang dianggap tidak adil.
Akhir Tragis: Pengasingan ke Timur Nusantara
Setelah bukti cukup kuat, R. Rangga Somanagara dijatuhi hukuman dan dibuang ke Ternate, sementara ayahnya diasingkan ke Pontianak.
Tragedi ini tidak hanya meninggalkan luka sejarah bagi Bandung, tetapi juga berdampak pada keluarga mereka. Anak perempuan Somanagara, Dewi Sartika, yang kelak dikenal sebagai tokoh pelopor pendidikan perempuan di Indonesia, tumbuh besar dalam bayang-bayang peristiwa kelam ayahnya.
Lebih dari seabad kemudian, Tragedi Dinamit Bandung 1893 tetap dikenang sebagai salah satu peristiwa politik paling dramatis di tanah Priangan — sebuah kisah tentang ambisi, kekecewaan, dan perlawanan dalam sistem kolonial yang keras.
(Sumber: Buku “Dewi Sartika” karya Rochiati Wiriaatmadja, Departemen P&K, 1985; serta artikel DetikJabar “Tragedi Dinamit Bandung 1893 dan Upaya Pembunuhan Bupati Baru”)





