Ragam  

Riset Membuktikan Warga Indonesia Paling Banyak Mengonsumsi Mikroplastik

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Mikroplastik, partikel plastik berukuran sangat kecil yang berasal dari berbagai produk plastik, semakin banyak ditemukan di lingkungan, termasuk dalam makanan dan minuman sehari-hari.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Cornell University, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia merupakan konsumen mikroplastik terbesar di dunia. Penelitian ini mempelajari 109 negara dari tahun 1990 hingga 2018, dengan fokus utama pada garis pantai dunia yang terpapar polusi plastik.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini mengumpulkan data konsentrasi mikroplastik pada berbagai kelompok makanan, seperti buah-buahan, sayuran, protein, sereal, produk susu, minuman, gula, garam, dan rempah-rempah. Para peneliti juga mempertimbangkan kebiasaan konsumsi penduduk setempat dan teknologi pengolahan makanan yang digunakan. Dari hasil analisis tersebut, terungkap bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan, terutama berasal dari makanan laut.

Dampak Industrialisasi dan Polusi Plastik

Para peneliti mencatat bahwa industrialisasi di negara berkembang, khususnya di Asia Timur dan Selatan, telah meningkatkan konsumsi bahan plastik, timbunan sampah, dan serapan mikroplastik oleh manusia. Negara-negara ini mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah mikroplastik yang masuk ke tubuh melalui makanan dan minuman.

Baca Juga:  Viral di Medsos Minum Es Saat Makan Bisa Bikin Ginjal Rusak, Ahli Angkat Bicara

Sebaliknya, negara-negara industri dengan sumber daya ekonomi yang lebih besar mampu mengurangi dan menghilangkan sampah plastik lebih efektif. Sebagai contoh, Paraguay ditemukan memiliki tingkat konsumsi mikroplastik yang paling rendah, hanya sekitar 0,85 gram per bulan.

Risiko Kesehatan Akibat Mikroplastik

Mikroplastik memiliki berbagai dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Berikut beberapa di antaranya:

Mengganggu Hormon

Setidaknya 15 bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan kemasan plastik dianggap sebagai pengganggu endokrin. Bahan-bahan ini dapat meniru hormon alami dalam tubuh seperti estrogen, testosteron, dan insulin, mengganggu fungsi normal hormon tersebut dan berpotensi menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.

Baca Juga:  Mantan Menkes RI Angkat Bicara Terkait Program Makan Siang Gratis yang Diusung Capres Prabowo

Meningkatkan Risiko Penyakit Kronis

Paparan jangka panjang terhadap mikroplastik yang mengganggu endokrin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes tipe 2 dan penyakit jantung. Mikroplastik dalam makanan dapat menyebabkan inflamasi, gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan obesitas.

Mengganggu Kekebalan Tubuh

Paparan mikroplastik juga berdampak negatif pada kesehatan usus dan kekebalan tubuh. Mikroplastik dapat menyebabkan peradangan pada usus, yang mengganggu mikrobiota usus dan menyebabkan pertumbuhan bakteri berbahaya. Kondisi ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit seperti Parkinson.

Solusi untuk Mengurangi Paparan Mikroplastik

Para peneliti menyarankan beberapa langkah untuk mengurangi paparan mikroplastik, antara lain:

  • Pengemasan Berkelanjutan: Menggunakan bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan tidak menghasilkan mikroplastik.
  • Pengelolaan Limbah yang Ketat: Menegakkan peraturan pengelolaan limbah yang efektif untuk mengurangi sampah plastik.
  • Teknologi Pengolahan Air: Memajukan teknologi pengolahan air untuk menghilangkan mikroplastik dari sumber air minum.
Baca Juga:  Mangan: Mineral Penting yang Wajib Dipenuhi dari Makanan Sehari-hari

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan pengurangan sampah plastik di perairan dapat mencapai 90%, yang berpotensi mengurangi paparan mikroplastik hingga 51% di negara maju dan 49% di kawasan industri maju.

Penelitian dari Cornell University menyoroti urgensi penanganan polusi mikroplastik yang telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Warga Indonesia, sebagai konsumen mikroplastik terbanyak di dunia, menghadapi risiko kesehatan yang signifikan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mengurangi produksi dan konsumsi plastik, serta meningkatkan teknologi pengelolaan limbah dan pengolahan air untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan.